100 Hari Kerja Kepala Daerah

Oleh : IMMawan Sahlan Fikri Haikal (Ketua Umum PC IMM Kabupaten Nunukan & Ketua Bidang Kesehatan PIKOM IMM FAI Unismuh Makassar Periode 2024-2025.)

IMMARIFAH, OPINI - Refleksi 100 hari kerja kepala daerah merupakan suatu momentum yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh elemen masyarakat sebagai sarana evaluatif untuk menilai efektivitas, efisiensi, serta akuntabilitas kinerja pemerintahan yang berada di bawah kepemimpinannya. Dalam konteks ini, partisipasi publik melalui kritik dan masukan konstruktif merupakan bagian integral dari proses demokrasi deliberatif yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan. Namun demikian, dalam praktiknya, individu atau kelompok yang mengartikulasikan kritik sering kali mengalami delegitimasi sosial oleh sebagian pihak atau oknum tertentu yang memandang kritik sebagai tindakan subversif atau bernuansa negatif. Fenomena ini mencerminkan perlunya peningkatan literasi politik serta penguatan budaya demokrasi yang inklusif, di mana kritik seharusnya dipandang sebagai kontribusi positif terhadap proses perbaikan institusional. Oleh karena itu, refleksi ini hendaknya tidak hanya menjadi ruang evaluasi bagi pihak eksekutif atau kepala daerah semata, melainkan juga menjadi sarana introspeksi kolektif bagi seluruh komponen masyarakat, termasuk para aktor sosial-politik.

Kurun waktu kurang lebih 100 hari masa pemerintahan Bupati Kabupaten Nunukan, H. Irwan Sabri, S.E., bersama Wakil Bupati Hermanus, S.Sos., yang secara resmi dilantik pada tanggal 20 Februari 2025, merupakan fase awal dari periode kepemimpinan yang akan berlangsung selama lima tahun, yakni dari tahun 2025 hingga 2030. Fase ini menjadi titik krusial dalam menilai komitmen awal dan arah kebijakan strategis kepala daerah beserta jajarannya.

Berbagai pencapaian yang telah dilakukan oleh pasangan kepala daerah tersebut dapat ditelusuri melalui ragam platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan kanal digital lainnya yang menunjukkan indikator kinerja yang cukup nyata. Hal ini tampak dari eksistensi mereka dalam merespons langsung isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan yang menyentuh langsung kebutuhan warga, terutama di sektor pelayanan publik dan pemberdayaan komunitas.

Salah satu bentuk pengakuan eksternal terhadap kinerja tersebut adalah diraihnya Top BUMD Awards 2025, yang mencerminkan keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) secara profesional dan inovatif. Selain itu, karakter kepemimpinan Irwan Sabri yang responsif dan proaktif dalam menyikapi persoalan di lapangan—termasuk turun langsung menemui masyarakat—menunjukkan pendekatan kepemimpinan partisipatoris yang memperkuat relasi antara pemerintah daerah dan warganya.

Kedekatan mereka dengan berbagai elemen masyarakat, khususnya organisasi kepemudaan, juga mencerminkan upaya membangun sinergi sosial dalam kerangka penguatan modal sosial (social capital) di tingkat lokal. Ini merupakan indikator penting dalam membentuk tata kelola pemerintahan yang inklusif, kolaboratif, dan berorientasi pada pelayanan publik yang responsif terhadap dinamika sosial.
 
Namun demikian, perlu digarisbawahi secara objektif bahwa tidak ada entitas kepemimpinan yang sepenuhnya bebas dari kekeliruan dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks pengambilan keputusan publik maupun dalam hal respons terhadap dinamika permasalahan sosial, kepala daerah—sebagaimana pemimpin lainnya—sangat mungkin melakukan kesalahan atau menghadapi keterbatasan tertentu dalam implementasi kebijakan.

Sejumlah isu krusial yang masih menjadi perhatian utama masyarakat, seperti akses dan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan yang merata, pembangunan infrastruktur di wilayah pedalaman, serta pemenuhan kebutuhan dasar seperti pasokan listrik dan air bersih, menunjukkan adanya gap antara aspirasi publik dan capaian kinerja pemerintah daerah pada periode awal ini.

Oleh karena itu, momentum evaluasi 100 hari kerja seharusnya tidak hanya difokuskan pada pencapaian dan keberhasilan simbolik, tetapi juga harus dijadikan sebagai ruang reflektif untuk mengidentifikasi kelemahan struktural maupun kebijakan yang belum optimal. Hal ini penting sebagai landasan bagi perbaikan berkelanjutan dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih inklusif, responsif, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.

Permasalahan sosial merupakan salah satu isu krusial yang kerap kali menciptakan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Fenomena ini juga tampak jelas di Kabupaten Nunukan, di mana keresahan kolektif masyarakat terhadap berbagai bentuk penyimpangan sosial atau deviasi sosial semakin meningkat. Hal ini tercermin dari masih maraknya tindakan yang melanggar norma sosial dan hukum, seperti tindak kekerasan (perkelahian), kekerasan seksual (pemerkosaan), hingga tindak pidana pencurian. Realitas ini menunjukkan bahwa masyarakat Nunukan, pada tingkat tertentu, belum sepenuhnya menginternalisasi nilai-nilai moral dan etika publik sebagaimana tercermin dalam tagline yang selama ini dikampanyekan oleh kepala daerah, yakni Bupati Nunukan.

Menanggapi kondisi tersebut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menyampaikan seruan kepada seluruh jajaran pemerintahan Kabupaten Nunukan untuk mengambil langkah strategis dan konkret dalam upaya penanggulangan kemerosotan moral ini. Salah satu bentuk tindakan preventif dan represif yang kami sarankan adalah pencabutan izin terhadap keberadaan lokalisasi yang menjadi pusat aktivitas kemaksiatan. Selain itu, IMM juga mendesak adanya tindakan tegas terhadap praktik ilegal seperti sabung ayam, peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba), serta pembuangan limbah sampah ke aliran sungai yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar